
Dosen Pascasarjana & Komite Audit Perumda Paljaya, Eduardus Suharto
SETIAP hari jutaan orang dari Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Bodetabek) tumpah ruah ke ibu kota. Mereka bekerja, beraktivitas, lalu kembali ke kota asal saat malam tiba. Namun ada “jejak” lain yang ditinggalkan para komuter di Jakarta, yaitu limbah cair manusia.
Selama 8 hingga 12 jam berada di ibu kota, para pekerja ini tentu buang air, mandi, atau sekadar mencuci tangan di toilet kantor, stasiun, atau pusat perbelanjaan. Fenomena sepele ini ternyata menciptakan beban ekologis yang tidak kecil.
Menurut Survei Komuter Jabodetabek 2023 dari BPS, jumlah komuter harian mencapai sekitar 4,41 juta orang. Jika memakai asumsi rata-rata konsumsi air 120 liter per orang per hari, dan delapan puluh persen berubah menjadi limbah domestik, maka beban tambahan yang ditanggung Jakarta mencapai 423 juta liter limbah cair setiap hari. Angka ini setara hampir 170 kali kapasitas IPAL Setiabudi yang hanya mampu mengolah 250 liter per detik.
Kapasitas pengolahan limbah Jakarta memang belum sebanding dengan bebannya. Data Perumda Paljaya menyebutkan, IPAL Setiabudi hanya berkapasitas 250 liter per detik dan IPAL Krukut 100 liter per detik, total setara 30 ribu meter kubik per hari. Sementara itu, dua instalasi pengolahan lumpur tinja di Pulo Gebang dan Duri Kosambi masing-masing hanya mampu menampung 900 meter kubik per hari. Secara keseluruhan, cakupan layanan pengolahan air limbah di DKI baru sekitar 6 hingga 10 persen. Padahal, tambahan beban limbah dari jutaan komuter setiap hari terus mengalir tanpa henti.