Presiden Prabowo Subianto menargetkan Indonesia bisa segera swasembada pangan dalam kurun waktu 5 tahun ke depan. Menteri Koordinator Bidang Pangan, Zulkifli Hasan pun mengungkapkan strateginya supaya Indonesia bisa segera swasembada, caranya adalah dengan melakukan klasterisasi pangan. Yakni, memfokuskan keunggulan tiap daerah untuk berkontribusi dan memproduksi pangan berbeda.
Lantas, bagaimana pandangan dari petani jagung? Apakah Indonesia bisa betul-betul swasembada jagung dengan cara klasterisasi pangan?
Ketua Umum Asosiasi Petani Jagung Indonesia (APJI) Sholahuddin mengatakan, pemerintah tak salah jika akan mencoba skema klasterisasi tersebut. Hanya saja, kata dia, ada sejumlah catatan yang perlu diperhatikan pemerintah agar upaya swasembada itu bisa berhasil dengan baik.
“Saya kira pada dasarnya tidak ada masalah, dan bagus-bagus saja ketika pemerintah mencoba untuk mengupayakan agar swasembada ini bisa terwujud. Tapi menurut saya, skema klaster ini kalau tidak dibarengi dengan perbaikan, ketersediaan sarana produksi usaha pertanian seperti kualitas benih yang bagus, terus pupuk yang tersedia, penanganan pasca panen yang kurang, itu tidak ada artinya. Karena permasalahan besarnya ada di situ,” kata Sholahuddin kepada CNBC Indonesia, Rabu (23/10/2024).
Menurutnya, untuk Indonesia bisa swasembada pangan pemerintah perlu mengatasi persoalan dari kurangnya sarana produksi pertanian, baik itu terkait dengan kualitas benih yang ada, maupun kebutuhan pupuk yang sampai hari ini belum bisa dicukupi, khususnya pupuk subsidi dari pemerintah.
“Sebenarnya petani ini autopilot, hari ini di Lamongan khususnya yang sudah ngalamin hujan 2 kali, ini saja sudah 100% menanam terlepas nanti itu ada kemarau lagi terus nanam lagi. Menanam ulang itu biasa bagi kami sebagai petani, karena ini bukan lagi sebuah nilai usaha, tapi ini sebuah tradisi, sebuah ritual yang memang harus kami lakukan. Karena kondisi lahan kita lahan tadah hujan. Hujan pertama kita harus nanam, kalau nanti kita telat nanam, hujan kedua (atau) ketiga baru nanam itu biasanya kena bulai, kena serangan penyakit dan lain sebagainya,” jelasnya.
Karena sudah menjadi tradisi turun menurun, katanya, para petani jagung sudah benar-benar paham apa yang harus mereka lakukan untuk bisa meningkatkan produksinya. Hanya saja sarana produksi dan pasca panen kerap menghambat produksi mereka.
“Permasalahan kita selalu klasik dari tahun ke tahun. Khususnya di pascapanen itu selalu terjadi penumpukan barang, harga turun drastis karena sarana produksi khususnya untuk pengering sangat kurang, sehingga terjadi kerusakan-kerusakan hasil panen. Itu yang selalu terjadi,” ungkap dia.
“Kita harus ingat bahwa pertanaman jagung di Indonesia 65% nya adalah dipanen pada kuartal pertama di periode Oktober-Maret, sehingga ketika Februari-Maret ini nanti kita panen raya, itu bersamaan dengan musim hujan, sehingga di situ harga pasti akan turun karena panen bersamaan,” sambungnya.
Selain itu, kata Sholahuddin , kualitas dari jagung yang dihasilkan juga tidak akan baik. Lantaran belum memadainya dukungan terhadap teknologi pasca panen. Karena itu, dia berharap program pemerintah ke depannya tetap berfokus pada mengatasi persoalan klasik yang masih kerap terjadi, yakni sarana produksi.
“Artinya, kalau target kita hari ini 23 juta ton, 65% nya berarti sudah lebih dari 13 juta ton itu dihasilkan pada satu kuartal, satu periode di tanaman pertama. Nah kalau ini bisa di-manage dengan baik, disimpan dengan baik, ini akan memenuhi kebutuhan jagung nasional,” tukas dia.