Bos Pengusaha Kasih Peringatan, Siap-Siap Gelombang PHK Pegawai Hotel

Ketua Umum PHRI, Hariyadi Sukamdani dalam program CNBC Indonsia Profit. (CNBC Indonesia TV)

Penghematan anggaran yang dilakukan pemerintah dalam APBN 2025 memicu efek domino. Pelaku usaha sektor pariwisata, termasuk bisnis perhotelan dan restoran pun mulai bereaksi.�

Pasalnya, menurut Ketua Umum Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Hariyadi B Sukamdani, segmen pemerintah berkontribusi sampai 40% terhadap sumber pendapatan bisnis perhotelan dan restoran nasional. Ditaksir, nilainya bisa berkisar Rp24,8 triliun. Angka itu mencakup biaya jasa dan akomodasi rapat serta kebutuhannya.

Hariyadi kepada Profit CNBC Indonesia mengatakan, pemangkasan anggaran itu akan berdampak, bahkan sudah langsung terasa. Kata dia, biasanya memang okupansi dan permintaan pada kuartal pertama selalu sepi. Namun, menyusul dikeluarkannya Instruksi Presiden (Inpres) No 1/2025  tentang Efisiensi Belanja dalam Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Tahun Anggaran 2025 pada 22 Januari lalu, menambah perah lesunya order di kuartal pertama tahun ini. 

“Begitu adanya pengumuman tersebut, Inpres tersebut keluar, itu ya sudah langsung tidak ada. Tidak ada sama sekali bookingan dari sektor pemerintah. Bahkan BUMN juga ikut-ikutan juga mas. Ini juga unik juga. Tetapi kan BUMN tidak ada kaitannya. Ternyata BUMN juga tidak melakukan kegiatan. Dan pemerintah daerah itu kan juga pemotongannya relatif kecil ya. Kalau saya tidak salah, dari dana transfer ke daerah itu hanya dipotong Rp50 triliun ya. Tapi di daerah juga sekarang sama, mengurangi kegiatan. Jadi ini semuanya mengalami mode untuk tidak melakukan aktivitas. Seperti itu kondisi di lapangan,” beber Hariyadi, dikutip Jumat (14/2/2025).

Karena itu, bukan tidak mungkin langkah efisiensi pun akan ditiru pengusaha. Sambil mencari solusi lain.

Hariyadi mengingatkan adanya potensi pengurangan karyawan alias pemutusan hubungan kerja (PHK) demi efisiensi. 

“Ya, kalau sudah situasi seperti ini, pertama tentu kami harus mengurangi kapasitas kami ya. Kita belum tahu akan berkurangnya berapa. Tapi perkiraan pasti teman-teman akan mengurangi dengan 50% kapasitas,” ujarnya.

“Artinya kalau 50% kapasitas itu apa? Ya otomatis karyawan juga dikurangi. Karyawan dikurangi, belanja dikurangi, semua yang terkait dengan biaya operasional akan dipangkas juga 50%. Nah ini juga tentunya hal yang tidak juga nyaman untuk karyawan juga nantinya. Tapi gimana kalau nggak ada tamunya, kan susah,” kata Hariyadi.

Potensi efisiensi dengan PHK itu, jelasnya, tidak bisa dihindari karena kontribusi belanja pemerintah terhadap bisnis perhotelan dan restoran yang mencapai 40-an persen. 

“Jadi memang pilihannya adalah satu itu. Lalu kedua tentunya kami akan mencari pasar-pasar baru ya. Pasar-pasar baru itu salah satu yang kami harapkan itu dari wisatawan mancanegara. Walaupun ini tidak mudah, tapi kami harus lakukan,” tukasnya.

“Lalu yang lainnya adalah menggerakkan wisatawan domestik atau domestic travelers. Nah, domestik travelers ini juga masih tanda tanya, apakah dengan pemotongan anggaran ini juga mereka akan mengurangi, karena jumlahnya signifikan. Jadi bukan hanya yang terkait dengan pegawai ASN-nya, tapi turunan semuanya itu kan kena. Misalnya contoh kemarin ada rekan di logistik yang menyampaikan, dia itu tergantung dengan pemerintah cukup besar. Kalau berkurang, berarti kan perusahaan dia juga akan mengurangi aktivitasnya. Jadi apa? Dampaknya ini sangat masif ke mana-mana,” terang Hariyadi.

Seakan terperangkap, Hariyadi pun mengaku sulit mencari sumber-sumber pendapatan baru dalam waktu singkat. Termasuk upaya mencari pasar baru atau penetrasi pasar.

“Sejujurnya agak susah agak sulit. Karena apapun namanya usaha kita melakukan promosi, itu perlu waktu, jangka waktu melihat hasilnya. Itu paling cepat 6 bulan. Jadi kalau kita melakukan penetrasi suatu pasar, itu baru akan melihat hasilnya 6 bulan. Nah situasi seperti ini tentu tidak mudah langsung, gitu ya. Artinya kita switch marketnya itu tidak mudah. Karena jumlahnya signifikan, yaitu 40% tadi,” paparnya.

Meski begitu, Hariyadi menegaskan, pihaknya terus mencari solusi. Termasuk dengan bekerja sama dan berkolaborasi dengan pihak lain. Seperti kolaborasi Gabungan Industri Pariwisata Indonesia (GIPI) dengan maskapai penerbangan, juga dengan Kementerian Pariwisata (Kemenpar) dalam mengelola pasar dan segmen khusus. 

“Ya, jadi memang mau tidak mau, tadi saya sampaikan, kita harus melakukan upaya-upaya efisiensi. Karena kita tidak bisa berharap bahwa pemerintah lalu serta merta mereka melonggarkan anggaran. Walaupun situasinya, kalau saya lihat secara umum, ini memang agak mengkhawatirkan, karena beberapa pos yang seharusnya itu vital, nggak boleh dipotong anggarannya, dipotong anggarannya. Nah, itu saya nggak tahu persis itu seperti apa,” kata Hariyadi.

Meski efisiensi tetap diperlukan, Haryadi berharap pemerintah segera bisa kembali berjalan normal.

“Kami akan melakukan efisiensi secara juga akan mengikuti, mengikuti bagaimana perkembangan dari permintaan atau demand yang ada.Jadi kalau memang itu hilang, kami akan sesuaikan. Misalnya hilang betul-betul 50%, kami akan pangkas biaya operasional kami sampai dengan 50%. Untuk kita bisa survive,” tutupnya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*